On Becoming the Winner Generation


Penulis: Didi Aprianto dan Wishnu Dewanto
Editor: Salim Shahab dan Eben Ezer Siadari
Tebal: 132 Halaman
Penerbit: Lintas Berita Indonesia
Tahun: 2008
Harga: Rp50.000

Deskripsi: Setelah 10 tahun reformasi banyak orang menilai gerakan pemuda seperti kehilangan arah. Mandeg. Tercerai-berai. Tak punya agenda bersama. Padahal, sejak seabad lalu, sejarah mencatat pemuda selalu berada di garda terdepan dalam melakukan perubahan. Sejak di bangku SD, kita mengenal tahun-tahun bersejarah itu: 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978 dan 1998.

Penulis buku ini mengamati adanya misorientasi itu, namun mereka tak pesimistis. Walau 10 tahun terakhir berlalu dengan makin termarginalkannya pemuda sebagai gerakan, mereka melihat bahwa sesungguhnya banyak tokoh-tokoh muda inspiratif yang tak tenggelam dalam misorientasi itu. Dengan cara dan kiprah mereka sendiri, ikon-ikon itu memunculkan harapan, menunjukkan cahaya di ujung terowongan yang gelap. Intelektual muslim Universitas Paramadina, Anis Baswedan, grup musik Slank, pelopor survei opini publik Denny JA, atlit bulutangkis Taufik Hidayat, pakar politik Eep Saefulloh Fatah, diva dangdut Inul Daratista, perempuan 'listrik' Tri Mumpuni dan sejumlah tokoh lain merupakan contoh-contoh yang dijadikan bahan refleksi pada buku ini untuk 'menemukan kembali' roh kepeloporan dan pembaruan pemuda.

Penelusuran atas ikon-ikon muda kontemporer itu didahului dengan pemaparan secara mendalam dan sistematis atas pergerakan pemuda sejak 1908, yakni berdirinya Budi Utomo. Para penulis memetakan berbagai periode pergerakan itu berdasarkan peran yang dimainkan para pemuda menghadapi tantangan zamannya. Mulai dari pemuda sebagai pelopor kebangkitan (1908), pemersatu (1928), pendobrak (1945), pembaru (1966), pembawa suara alternatif (1974,1978) hingga sebagai reformator (1998). Telaah reflektif atas peran pada berbagai periode itu lah yang mengantarkan mereka menemukan ikon-ikon muda di era reformasi. Penemuan akan ikon-ikon ini kemudian dijadikan landasan optimisme meretas jalan bagi pemuda sebagai gerakan untuk memenangkan peran sejarahnya yang, telah sangat menentukan sejak dulu.

Pada bagian akhir buku ini, kedua penulis mengemukakan keyakinan mereka bahwa kini diperlukan peningkatan wawasan kebangsaan di kalangan generasi muda. Wawasan itu menjadi landasan bagi pemuda untuk menemukan 'musuh bersama', seperti yang sudah terbukti menjadi pemersatu gerakan sejak zaman prakemerdekaan. Musuh bersama itu kini adalah ketidakadilan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan. Untuk melawan 'musuh bersama,' kaum muda memerlukan arena mau pun wadah sebagai kawah candradimuka penggemblengan. Dan, ikon-ikon muda di era reformasi telah menunjukkan bahwa mereka berhasil menemukan dan menciptakan arena mereka masing-masing. Ada yang menemukannya di bidang dakwah. Ada yang mendapatkannya di dunia dangdut. Yang lain menjadikan musik sebagai wadah. Dan banyak lagi, termasuk dengan bergiat jadi pengusaha, intelektual dan ....masuk ke partai politik.

No comments: